BICARA OVERLOAD - OMONGAN OVERDOSIS
الكلام كالدواء، إنْ أقللت منه نفع، وإن أكثرتَ منه قتل
“Omongan itu seperti obat, ia akan bermanfaat jika sesuai takaran / dosisnya. Ia pun bisa membunuh jika overdosis.”
Kalam Sahabat Amr bin al-Ash bin Wa'il bin Hisyam atau Amr bin al-Ash atau 'Amr Bin Ash radliyallahu anhu (wafat 6 Januari 664 M, Fustat, Mesir)
--------------------------------
Imam Syafi'i rahimahullah (wafat 820 M Fustat Mesir), memberi pula komentar tentang berkata baik atau diam :
"Apabila seseorang hendak bicara, maka berpikirlah terlebih dulu. Apabila telah jelas bahwa bahwa ucapannya akan membawa kemaslahatan, maka berbicaralah. Dan, apabila telah jelas bahwa ucapannya akan membawa kemudharatan atau ia ragu, bahaya dan tidaknya, maka diamlah".
Al-Imaam Al-'Allaamah Asy-Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi Al-Bantani At-Tanara Asy-Syafi'i Al-Makki atau Syaikh Nawawi Banten rahimahullah (1813 - 1897, Jannatul Ma'la Mekkah), dalam kitab Siraj Al-Munir, mengutip maqolah Al-Imam Muhammad Abdur Rauf Bin Taj al-Arifin Bin Ali Bin Zainal Abidin Bin Yahya Bin Muhammad Bin Muhammad Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Makhluf Bin Abdus Salam Al-Hadadi Al-Munawi Al-Qahiri Al-Mishri As-Syafi'i atau Imam Al-Munawi rahimahullah bahwa :
"Sudah sepatutnya bagi orang yg berakal untuk memilih perlindungan diri (dgn cara diam). Bagi yg tidak mampu atau terpaksa karena berada di suatu komunitas atau dalam rangka mencari rezeki, maka tetap orang itu harus memilih banyak diam."
Orang yg berakal akan berusaha sekuat tenaga, agar tidak ada seorangpun di antara kaum muslimin yg celaka akibat perkataan dan perbuatannya, hal ini berarti telah memenuhi sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam : “Seorang muslim adalah yg keselamatan kaum muslimin terjaga dari lisan dan perbuatannya”. (HR. Imam Bukhari rahimahullah wafat 1 September 870 M di Uzbekistan).
Banyak berbicara selain untuk hal yg terkait dgn dzikir kepada Allah subhanahu wa ta'ala, membuka peluang terjerumusnya manusia ke dalam urusan² yg tidak berfaedah. Di antara bahan pembicaraan yg mendorong seseorang banyak bicara adalah pembicaraan yg tidak penting.
Karena, banyak bicara itu lebih besar kelirunya. Sebagaimana dawuh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam yg bersumber dari riwayat Sayyidina Umar bin Khattab radliyallahu anhu (wafat 3 November 644 M, Masjid Nabawi Madinah) :
مَنْ كَثُرَ كَلاَمُهُ كَثُرَ سَقَطُهُ، وَمَنْ كَثُرَ سَقَطُهُ كَثُرَتْ ذُنُوْبُهُ، وَ مَنْ كَثُرَتْ ذُنُوْبُهُ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Barangsiapa yg banyak bicara, maka banyak kelirunya. Barangsiapa yg banyak kelirunya, maka banyak dosanya. Barangsiapa yg banyak dosanya, maka neraka lebih baik baginya.” (HR. Imam Ath-Thabrani rahimahullah dalam Al-Ausath; wafat 971 M di Isfahan Iran).
Orang yg banyak bicara tanpa ilmu, bisa mengeraskan hati, sebagaimana hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu (wafat 697 M di Makkah) :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُكْثِرُوا الْكَلَامَ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ فَإِنَّ كَثْرَةَ الْكَلَامِ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ قَسْوَةٌ لِلْقَلْبِ وَإِنَّ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْ اللَّهِ الْقَلْبُ الْقَاسِي
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :
“Janganlah kalian banyak bicara tanpa berdzikir kepada Allah, karena banyak bicara tanpa berdzikir kepada Allah membuat hati menjadi keras, dan orang yg paling jauh dari Allah adalah orang yg berhati keras.” (HR. Imam At-Tirmidzi rahimahullah wafat 9 Oktober 892 M, Termez, Uzbekistan).
Coba kita simak secara faktual, betapa banyak manusia yg senang melibatkan diri dalam urusan² yg tidak berfaedah. Kita bisa mengevaluasi pembicaraan dan tulisan² yg ada di medsos, televisi, kumpulan² orang dan lain².
Ternyata pembicaraan sia² dan tidak baik lebih dominan. Kita banyak diperlihatkan dan diperdengarkan kata² caci maki, perbincangan aib, ghibah, kecurigaan, pertentangan, penghinaan, dan pembicaraan buruk lainnya yg seharusnya kita hindari jauh², tapi banyak orang yg menyukai kekerasan kata², hingga menjadikan hatinya ikut keras.
Itulah barangkali kenapa orang yg banyak bicara hatinya menjadi keras. Setiap dosa yg dilakukan menyebabkan hati menjadi keras, semakin banyak dosa semakin keras pula hatinya.
Syaikh Nawawi Al-Bantani rahimahullah, dalam kitab Nashaihul Ibad Fi Bayani Alfadzi Munabbahat Ala Al-Istidad Li Yaumil Mi'ad, termaktub suatu pesan dari Sayyidina Umar Ibn Khattab radliyallahu anhu, yg mengingatkan bahwa seseorang yg banyak bicara itu akan berujung pada kematian hatinya. Sebuah kondisi hati, yg tidak lagi mengenal penyesalan saat kesalahan yg telah diperbuatnya.
ومن كثر كلامه كثر سقطه ومن كثر سقطه قل حياته ومن قل حياته قل ورعه ومن قل ورعه مات قلبه
"Siapa yg banyak bicara, maka akan banyak pula salahnya. Barangsiapa banyak salahnya, maka sedikit perasaan malunya. Siapa yg sedikit rasa malunya, maka sedikit pula wira’i nya. Barangsiapa sedikir wira’i, maka matilah hatinya".
Namun, untuk menyelamatkan diri dari kemungkinan keliru saat bicara, misalnya, saat ditanya mengenai persoalan yg memang orang itu tidak tahu ilmunya, hendaklah dijawab dengan tiga kata, “Aku tidak tahu.”
Umar bin Khattab radliyallahu anhu berkata : seperti dikutip Syekh Nawawi Banten rahimahullah “Diam itu merupakan anak kunci (bagi) mulut.”
Dari pesan² luhur diatas, jika seseorang bisa bersikap hati², tentunya ia tidak akan terjerumus pada kesalahan² terus menerus yg bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Al-Imam az-Zahid Ash-Shufi Thawus Al-Fuqara' Abdullah bin Ali bin Muhammad bin Yahya Abu Nashr As-Sarraj Ath-Thusi atau Imam Abu Nashr As-Sarraj rahimahullah (wafat 387 H / 988 M), dalam kitab Al-Luma’ fi Tarikh At-Tasawuf Al-Islami, disebutkan bahwa orang yg wira'i itu senantiasa terhindar dari sesuatu yg melalaikan hatinya dari dzikir kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Tentunya, hati orang yg wira'i keadaaannya baik, tidak mati. Kerena ia menjaga dirinya dari sesuatu yg tidak bermanfaat dan selalu berdzikir kepada-Nya.
Mengambil hikmah dari penjelasan Abu Abdillah Al-Haris bin Asad Al-Bashri Al-Muhasibi Al-Baghdadi atau Imam Al-Muhasibi rahimahullah (781 - 857 M, Bagdad, Irak) dalam karyanya, Kitab Ar-Risalah Al-Musytarsyidin, banyak dari kita yg masih jauh dari ketentuan² di atas. Oleh karena itu, seraya memperbaiki diri, kita mesti melatih untuk menjaga lisan kita.
Imam Al-Muhasibi rahimahullah mengatakan :
وَفَرْضُ اللِّسَانِ الصِّدْقُ فِي الرِّضَا وَالْغَضَبِ وَكَفِّ الْأَذَى فِي السِّرِّ وَالْعَلَانِيَةِ وَتَرْكُ التَّزَيُّدِ بِالْخَيْرِ وَالشَّرِّ
“Dan kewajiban lisan yaitu jujur dalam keadaan senang maupun marah, menahan dari menyakiti dalam keadaan sendirian maupun ramai, dan meninggalkan berlebihan dalam perkataan baik maupun buruk.” (Al-Harits Al-Muhasibi, Risalah al-Mustarsyidin, Dar el-Salam, halaman 116)
Setelah berusaha dan berikhtiar, jangan lupa untuk meminta kepada Allah subhanahu wa ta'ala, agar memberikan kita hidayah dan kekuatan untuk menjaga lisan. Sebagaimana disebutkan oleh Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah Al-Hanafi rahimahullah (Aleppo 9 Mei 1917 M – 16 Februari 1997 M di Riyadh Arab Saudi) mengomentari kitab tsb sbg berikut :
اَللَّهُمَّ اجْعَلْ صَمْتِي فِكْراً وَنُطْقِي ذِكْراً
"Wahai Allah, jadikanlah diamku berpikir, dan bicaraku berdzikir."
Ada Lafadz doa Nabi Musa alaihis salam, yg bisa kita amalkan dalam kehidupan sehari².
رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي
"Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku." (QS. Thoha : 25 - 28)
Semoga dgn doa² ini, kita bisa terjaga dari keburukan lisan kita dan semakin dekat dgn Allah subhanahu wa ta'ala, dgn wasilah ucapan² baik. Aamiin.
Wallahu A'lam. Semoga bermanfaat !!
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda🙏🏼