Pengertian Kata Talak / Cerai Dalam Hukum Islam
Seribu kali istri minta di cerai, sebelum suami bilang “Oke”, masih sah Suami-Istri. Tapi sekali saja, Suami keluar kata Cerai, walaupun maksudnya becandaan, maka jatuhlah Talaknya.
Pengertian Talak (cerai):Mungkin kata “CERAI ” itu sudah terlalu sering kita dengar, meski kadang kita tidak tau apa sebenarnya arti talak itu. Pertama tama kita bahas soal perbedaan antara Talak dan Cerai.
Cerai dan talak adalah artian yang sama. Talak adalah bahasa arab sedangkan cerai adalah bahasa indonesia.
TALAK adalah: pelepasan akad Nikah dengan lafal talak atau yg semakna dengan itu. Talak dalam islam adalah halal tapi sangat di benci sama Allah. Nabi muhammad saw bersabda :
Perbuatan halal tapi paling di benci Allah adalah talak (HR. Abu daud).
MACAM MACAM TALAK
1. TALAK RAJ’IAH yaitu : talaq satu dan talaq dua di sebut talak raj’iah. Karena suami bisa rujuk kembali, dan masa iddah belom habis.
2. TALAK BA’IN yaitu : talak tiga, jika suami tidak dapat rujuk, walaupun masa iddah belom habis, talak tiga sering di sebut talak ba’in kubra.
LAFADZ/ UCAPAN TALAK. ▪TALAK SHAR’IH yaitu : talak dengan lafadz yang jelas dan terang. Misalnya suami berkata pada istrinya. “KAMU SAYA CERAI” atau “KAMU SAYA TALAK”.
Talak semacam ini di niati atau tidak, maka talak sudah jatuh dan haram untuk bercampur. ▪TALAK KINAYAH yaitu : talak dengan lafadz sindiran. Misalnya suami berkata pada istrinya “PERGI KAU DARI SINI” atau “PULANG KERUMAH ORANG TUAMU” talak seperti ini jatuh kalau di niati talak. Tetapi jika tidak di niati maka talak tidak jatuh. Dan halal untuk di campur.
TALAK KIAS Talak jatuh apabila: Suami mengaku bujang. Misalnya ada suami yang suka ke wanita lain untuk menyembunyikan setatus aslinya. Lalu dia berkata kalau dia bujang. Maka talaq jatuh. Jika si suami tetap menggauli istrinya maka hukumnya ZINA.
HUKUM HUKUM TALAK Pada dasarnya talak atau perceraian adalah sesuatu yang tidak di senangi yang dalam. Istilah ushul fiqh di sebut makruh, meskipun hukum dari talak itu makruh tapi bisa di lihat dari sebab tertentu.
1. NADAB/SUNNAHyaitu : jika dalam keadaan rumah tangga sudah tidak bisa di lanjutkan. Dan seandainya tetap di pertahankan maka akan timbul ke mudharatan yang lebih besar diantara kedua belah pihak.
2. MUBAH: atau boleh saja di lakukan bila memang perlu terjadinya perceraian dan tidak ada pihak yang dirugikan dengan perceraian itu. Dan manfaatnya ada.
3. WAJIB atau mesti di lakukan. Yaitu perceraian yang mesti di lakukan oleh hakim terhadap seseorang yang telah bersumpah untuk tidal menggauli istrinya. Sampai masa tertentu. Serta ia tidak mampu pula membayar kaffarat sumpah. Dan tindakan ini memudharatkan bagi istri.
4. HARAM talak itu di lakukan tanpa alasan. Sedangkan istrinya dalam keadaan haid. Atau suci yang dalam masa itu istrinya telah di gauli.
Hak dan Kewajiban Perempuan dalam Masa Iddah
Terdapat 8 hak dan kewajiban perempuan dalam masa iddah. Apa saja? Temukan penjelasannya masing-masing di sini.
Masa iddah adalah periode waktu tertentu yang harus dilalui seorang perempuan yang telah bercerai untuk dapat menikah kembali secara sah. Hak dan kewajiban perempuan dalam masa iddah mesti dipenuhi sesuai dengan hukum Islam.
Saat perempuan baru saja bercerai atau ditinggal meninggal suaminya dan akan menikah lagi, dalam hukum Islam menyarankan baginya agar melakukan pernikahan setelah masa 'iddahnya selesai.
ketentuan tersebut sesuai dengan surah Al Baqarah ayat 228 di dalam Al Quran untuk menghapus ambiguitas tentang ayah apabila kehamilan terjadi sesaat sebelum perpisahan pasangan atau kematian suami.
Masa Iddah Artinya
Periode waktu ‘iddah bagi perempuan yang sedang menstruasi adalah tiga periode bulanan sebelum mengalami pernikahan baru. Sementara penundaan yang diperlukan untuk perempuan yang tidak mengalami menstruasi adalah selama tiga bulan.
Dalam kasus pasangan yang bercerai, konsep 'iddah juga memberikan kesempatan untuk membangun kembali pernikahan, tetapi tidak ada rujuk yang dapat terjadi sampai periode menunggu menghilangkan semua keraguan tentang kehamilan yang ada.
Dalam buku al-Ghâyah wa al-Taqrîb, Syekh Abu Syuja mengemukakan bahwa perempuan yang beriddah dari talak raj‘i (talak yang bisa dirujuk) wajib diberi tempat tinggal dan nafkah. Sedangkan perempuan yang ditalak ba’in wajib diberi tempat tinggal tanpa nafkah kecuali ia sedang hamil.
Kemudian perempuan yang ditinggal wafat suaminya wajib ber-ihdad, dalam arti tidak berdandan dan tidak menggunakan wewangian. Selain itu, perempuan yang ditinggal wafat suaminya dan putus dari pernikahan wajib menetap di rumah kecuali karena kebutuhan.
Hak dan Kewajiban Perempuan dalam Masa Iddah
Berikut adalah hak dan kewajiban perempuan ketika sedang dalam masa ‘iddah
1. Perempuan yang sedang beriddah dari talak raj‘i berhak mendapat tempat tinggal yang layak, nafkah, pakaian, dan biaya hidup lainnya dari mantan suami, kecuali jika ia nusyuz (durhaka) sebelum diceraikan atau di tengah-tengah masa iddahnya. Hal itu berdasarkan firman Allah: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang,” Selain itu, Rasulullah, bersabda: “Perempuan beriddah yang bisa dirujuk oleh (mantan) suaminya berhak mendapat kediaman dan nafkah darinya.”
2. Perempuan yang sedang beriddah dari talak ba’in, baik karena khulu‘, talak tiga, atau karena fasakh, dan tidak dalam keadaan hamil, berhak mendapat tempat tinggal saja tanpa mendapat nafkah kecuali jika ia durhaka sebelum ditalaknya atau di tengah masa iddahnya.
3. Perempuan yang sedang beriddah dari talak ba’in dan keadaan hamil juga berhak mendapat tempat tinggal dan nafkah saja. Tidak berhak atas biaya lainnya. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat, apakah nafkah itu gugur karena nusyuz atau tidak
4. Perempuan yang sedang beriddah karena ditinggal wafat suaminya tidak berhak mendapat nafkah walaupun dalam keadaan hamil.
5. Perempuan yang ditinggal wafat suaminya berkewajiban untuk ihdad, yakni tidak bersolek dan tidak berdandan, seperti mengenakan pakaian bewarna mencolok semisal kuning atau merah yang dimaksudkan untuk berdandan. Juga tidak diperkenankan mengenakan wewangian, baik pada badan atau pakaian.
6. Perempuan yang ditinggal wafat suami dan juga perempuan yang telah putus dari pernikahan, baik karena talak bain sughra, talak bain kubra, atau karena fasakh, berkewajiban untuk selalu berada di rumah. Tidak ada hak bagi suaminya ataupun yang lain untuk mengeluarkannya. Selain itu, ia juga tidak boleh keluar dari rumah itu walaupun diridai oleh mantan suaminya kecuali karena ada kebutuhan. Adapun kebutuhan keluar rumahnya di siang hari seperti untuk bekerja dan belanja kebutuhan. Bahkan untuk kebutuhan mendesak, pada malam hari pun ia boleh keluar, dengan catatan ia kembali pulang dan bermalam di rumah tersebut kecuali memang ada ketakutan yang menimpa diri, anak-anak, dan hartanya.
7. Perempuan yang tengah menjalani iddah dari talak raj‘i tidak diperbolehkan menikah dengan laki-laki lain atau menerima lamaran baru walaupun berupa sindiran, sebagaimana dalam ayat Allah dalam Q.S al-Baqarah:235 “Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis iddahnya,”
8. Perempuan yang sedang menjalani iddah karena ditinggal wafat atau ditalak ba’in suaminya tidak boleh menerima lamaran terang-terangan, tetapi boleh menerima lamaran berupa sindiran atau penawaran, sebagaimana firman Allah: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf,” (Q.S. al-Baqarah [2]: 235). Mengenal Harta Bersama atau Harta Gono Gini dalam Islam
Adakah dalam hukum Islam (Al-Qur’an, Sunnah, dan Fiqh) mengenal tentang adanya harta bersama atau harta gono gini? Dalam Al-Qur’an, Sunnah dan Fiqh tidak terlihat adanya harta bersama dalam suami istri, akan tetapi dalam islam dikenal adanya pemisahan harta antara suami dan istri.
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun” (Q.S. An-Nisa’-12).
Dalam ayat diatas, tidak dikenal adanya percampuran harta(gono gini) dari suami dan istri, melainkan dijelaskan bahwa masing-masing suami istri memiliki hak atas hartanya masing-masing.
Lantas bagaimana dengan istilah harta bersama atau harta gono gini di Indonesia? Di Indonesia dikenal Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur tentang aturan-aturan islam tentang perkawinan, waris, perceraian,harta dan lain sebagainya. Perkembangan Kompilasi Hukum Islam selanjutnya berdasarkan Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 secara formal diberlakukan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum positif di Indonesia.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah diatur mengenai harta bersama atau harta gono-gini dalam Bab XIII tentang Harta Kekayaan Dalam Perkawinan, dari Pasal 85 hingga Pasal 97. Singkatnya, apabila terjadi perceraian antara suami istri (baik cerai mati ataupun perceraian yang dilakukan dipengadilan agama) mengikat aturan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 97 yang mengatur mengenai harta bersama
Pasal 97
“Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”
Dalam Islam mengenal mengenai diadakannya perdamaian jika antara mantan suami dan mantan istri berselisih, terlebih mengenai masalah harta bersama. Idealnya, ketika pasangan suami istri yang bercerai dan mempermasalahkan tentang harta bersama atau gono gini, terdapat dua pilihan untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, yaitu :
- Perdamaian secara syariat Islam
- Pembagian Harta Bersama di Pengadilan Agama
Perdamaian memiliki derajat yang tinggi dan sudah sepantasnya didahulukan oleh umat Islam, sebagaiman firman Allah SWT mengenai perdamaian sebagai berikut:
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allâh, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” [QS An-Nisa’ 4:114]
Dalam melakukan perdamaian mengenai harta bersama secara Islam, diperlukan pemahaman yang lengkap mengenai prinsip-prinsip keadilan dalam Islam. Mengingat dalam Islam tidak dikenal harta bersama, akan menjadi sangat sulit untuk dapat menyelesaikan perselisihan mengenai harta bersama dari pasangan suami istri yang bercerai. Akan tetapi jika keduanya mengikuti (Al-Qur’an, Sunnah, dan Fiqh) dan difasilitasi oleh ustad atau ulama yang mengerti akan perdamaian dan harta menurut Islam serta ketaatan kedua pihak yang berselisih, perdamaian sangat mungkin dapat tercapai.
Selain pilihan diatas mengenai perdamaian secara islam tanpa disangkut pautkan dengan Kompilasi Hukum Islam yang berlaku di Indonesia, Pihak yang berselisih tentang harta bersama dapat mengajukan gugatan mengenai Pembagian Harta Bersama di Pengadilan Agama. Dalam aturan Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 97, telah diatur bahwa masing-masing janda dan duda memiliki hak setengah bagian (50:50) dari harta bersama yang didapat selama perkawinan. Tentunya tidak semua harta dapat dibagi atau dikategorikan sebagai harta bersama. Dalam Pasal 87 KHI dikenal pula harta bawaan yang secara khusus tidak dapat dikategorikan sebagai harta bersama.
Pasal 87
(1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam dikenal pula mengenai hutang bersama, tentunya hutang bersama yang diatur dalam Pasal 93 Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa tidak semua hutang istri atau suami dapat dikategorikan sebagai hutang bersama.
Pasal 93
- Pertanggungjawa
ban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing. - Pertanggungjawa
ban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama. - Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
- Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta isteri
Setelah diketahui apa saja yang menjadi harta bersama dan hutang bersama, barulah harta bersama dapat dibagikan dengan cara mengajukan gugatan pembagian harta bersama di Pengadilan Agama.
Barakallah Fikum
SEMOGA BERMANFAAT
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda🙏🏼