Di sebuah desa kecil yang tampak damai, ada kisah yang hampir terkubur bersama waktu. Seorang gadis remaja tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Ayahnya dengan enteng berkata, “Dia kabur ke kota, jangan tanya lagi.” Polisi percaya begitu saja, laporan ditutup, dan para tetangga perlahan berhenti mencari. Tahun demi tahun berlalu… hingga semua orang melupakannya.
Padahal, kebenaran itu tidak pernah jauh. Hanya beberapa meter dari kaki mereka, tepat di bawah lantai rumah tua itu, gadis itu masih ada. Hidup—tapi bukan benar-benar hidup. Ia dipenjara di ruang bawah tanah sempit tanpa jendela, lembap dan gelap. Udara pengap, tikus berlarian, dan jamur tumbuh di dinding.
Hari-harinya dilalui dengan potongan roti basi dan air keruh. Tempat tidurnya hanyalah kasur busuk yang penuh bercak. Kesepian menjadi tembok paling tinggi, dan keheningan menjadi rantai yang tak terlihat. Setiap hari ia menggores tembok dengan kukunya: satu garis untuk satu hari. Setelah 24 tahun, ribuan tanda memenuhi dinding itu—jejak waktu yang ia hitung dengan sisa tenaga.
Tetangga sekitar sering mendengar bisikan lirih seperti suara orang berdoa atau menangis di malam hari. Tapi mereka mengira itu hanya suara angin dari selokan. Tak seorang pun curiga bahwa di bawah rumah itu ada penjara hidup.
Semua berubah ketika seorang tetangga merenovasi basement rumahnya. Mereka menemukan pintu kecil yang ditutupi papan kayu dan semen. Begitu dibuka, bau busuk luar biasa menyeruak, membuat semua orang menutup hidung. Saat senter diarahkan, mereka melihat sosok meringkuk di pojok ruangan. Kurus kering, pucat, rambut kusut menutupi wajah.
Ketika ia menoleh, mata merah menyala menatap tajam. Di sekelilingnya, dinding penuh tulisan samar: “tolong aku… tolong aku…” ada yang ditulis dengan debu, ada pula yang seperti bercampur darah. Di sudut ruangan teronggok boneka lusuh. Menurut beberapa warga, boneka itu sering terdengar berbisik sendiri ketika malam larut.
Yang lebih membuat bulu kuduk berdiri: ada sebuah jam tua di ruangan itu. Jam itu sudah mati puluhan tahun, tanpa baterai, tanpa jarum yang bergerak. Tapi saat pintu dibuka, jam itu berdetak lagi—tepat pada pukul ketika ia pertama kali dikurung.
Sejak hari itu, rumah tersebut dibiarkan kosong. Warga desa enggan mendekat. Namun banyak yang bersumpah, jika melewati rumah itu tengah malam, terdengar suara lirih dari bawah tanah, seolah ada yang masih menunggu:
“Jangan biarkan aku sendirian lagi…”

Posting Komentar