Ustadz Abdul Somad VS Singapura Plus Abu Janda
Jika ingin tahu orang itu baik atau buruk, lihatlah temannya. Pribahasa ini sepertinya sangat cocok untuk digunakan dalam kejadian ditolaknya Ustaz Abdul Somad (UAS) masuk ke Singapura.
Baiklah. Kata otoritas Singapura, UAS ditolak masuk ke negaranya karena alasan beliau sebarkan ajaran ekstrimis dan segregasi (perpecahan). Menurut Singapura, apa yang selama ini diajarkan UAS adalah ajaran yang perlu dihindari dan tidak boleh menyentuh Singapura. Oke. Itu hak mereka untuk mempunyai pandangan seperti itu. Tidak masalah. Tapi sayangnya, justru di dalam negeri sendiri, banyak orang-orang yang justru mengolok-olok UAS, bahkan lebih dekat kepada caci-maki. Salah satunya yaitu pegiat media sosial, Denny Siregar menulis begini: "Mending perbaiki diri lu aja, Mad. Bener gak perilaku lu selama ini. Kenapa kok orang males lihat elu." Sedangkan komentar Abu Janda: "Emang elu siapa? Sampai negara harus turun tangan? Gak penting!" Lantas komentar mereka di media sosal itu diserbu oleh komentar orang-orang yang terprovokasi untuk membenci UAS.
Selama saya menyimak beberapa materi ceramah UAS, memang sangat sesuai dengan apa yang telah saya pelajari di pondok pesantren selama bertahun-tahun.
Lantas, jika yang disampaikan UAS adalah perkara ekstimisme atau radikal, tentu saja kiai-kiai pemangku pesantren yang memiliki puluhan ribu santri ini tidak akan membiarkan UAS mengotori pemikiran anak didiknya dengan memberi ceramah yang radikal. Ibarat kita memiliki anak kecil yang sedang kita ajari bicara, tidak mungkin kita membiarkan orang lain mengajari anak kita untuk ngomong kasar, keras, dan jorok.
Jika Singapura menilai seorang ustaz adalah penceramah ekstremis, apakah kita lalu mengikuti pendapat Singapura ini? Di mana posisi Singapura sehingga layak menghakimi tokoh umat Islam adalah ekstrimis. Sedangkan kiai-kiai yang begitu paham tentang Islam, yang memiliki ribuan santri, yang telah lama berpengalaman mendidik generasi bangsa dengan ilmu agama dan akhlak mulia, justru menerima dengan baik tokoh itu. Bahkan meminta tokoh itu untuk memberi ceramah kepada santri-santri mereka. Nah, bisa jadi ekstrimis versi Singapura dan versi ulama-ulama kita sendiri berbeda. Jadi, tinggal kita pilih, apakah kita mengikuti pendapat Singapura dan para aktivis yang mengolok-olok UAS, atau mengikuti kiai-kiai pemangku pesantren yang begitu paham ilmu agama dan telah lama membantu pemerintah mencerdaskan bangsa, tanpa imbalan apalagi gaji bulanan.
Terakhir, semoga kita tetap berada dalam barisan para ulama, dari dunia sampai ke akhirat. Amin...
Oleh @baqirmadani
Sampang: 19 Mei 22.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda🙏🏼