Kesalahan-Kesalahan Dalam Manasik Haji Dan Umrah, Mohon Diperhatikan
Ibadah haji bagi sebagian besar kaum muslimin, mungkin merupakan ibadah sekali seumur hidup. Oleh karena itu, sudah semestinya para jamaah mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menjalankan ibadah haji yang sesuai dengan sunnah dan petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Semua orang ingin hajinya mabrur dan dosanya maghfur. Wajar saja, karena semua orang tahu bahwa haji mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surga.
Tidak ada yang mengetahui kalau musim haji tahun ini adalah kesempatan terakhir baginya untuk menjadi “Dhuyuuf Ar-Rahmaan”(tam
Tulisan ini merupakan wujud keprihatinan penulis terhadap fenomena beragama yang semakin jauh dari praktek para pendahulunya (baca:As-Salaf Ash-Shaalih), khususnya dalam fiqh manasik. Penulis melihat masih banyak kesalahan yang terus berulang dari tahun ke tahun yang dilakukan oleh sebagian besar jamaah haji. Penulis merasa perlu untuk mengingatkan dan memberikan nasihat kepada kaum muslimin. Penulis sangat menyadari bahwa di sana sudah banyak usaha pelurusan dan peringatan terhadap kesalahan-kesal
Semoga tulisan yang ringkas ini bermanfaat bagi penulis dan pembacanya.
Menjadikan Jeddah sebagai miqat
Di antara kesalahan jamaah haji (khususnya dari Indonesia) adalah menjadikan Jeddah [1] sebagai miqat.
Untuk memahami masalah ini, perlu dijelaskan beberapa hal sebagai berikut:
1. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah untuk Allah, jika kalian terhalang (dari melaksanakannya
Mak-hul [2] berkata, “Menyempurnakan
2. Allah juga berfirman,
الْحَج أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَج فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحج
“Haji itu pada bulan-bulan tertentu. Barangsiapa yang wajib haji baginya pada bulan-bulan tersebut, maka ia tidak boleh berkata-kata kotor, tidak boleh berbuat maksiat, dan tidak boleh berbantah-banta
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata menafsirkan kata “fusuuq”dalam ayat di atas , “Maksudnya adalah maksiat.” [4]
Maksiat itu sendiri definisinya adalah lawan dari ketaatan, baik tidak melaksanakan apa yang diperintah atau melanggar apa yang dilarang. [5]
3. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خذوا عني مناسككم
“Ambillah dariku tatacara manasik kalian.” (HR. Muslim, no. 1297)
4. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menentukan miqat-miqat [6]. Al-Imam Al- Bukhari meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbasradhiyalla
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَّتَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ، وَلِأَهْلِ الشَّامِ الْجُحْفَةَ، وَلِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنًا، وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ، وَقَالَ: هُنَّ لَهن وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الحَجَّ وَالعُمْرَةَ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ، فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ “
“Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan miqat Dzulhulaifah bagi penduduk Madinah, Al-Juhfah bagi penduduk Syam, Qarn Al-Manaazil bagi penduduk Najd, dan Yalamlam bagi pendudukYaman. Beliau bersabda, “Miqat-miqat itu untuk para penduduknya dan untuk orang yang melewatinya walaupun bukan penduduknya yang ingin melaksanakan haji atau umrah. Adapun orang yang berada di daerah sebelum miqat (dari Makkah – pen) maka ihramnya dari tempat tinggalnya, sebagaimana penduduk Makkah berihram dari Makkah.” (HR. Al-Bukhari, no.1524)
Miqat adalah tempat memulai ihram. Seorang muslim yang akan menunaikan ibadah haji dan atau umrah, ia wajib menyempurnakan manasiknya dengan cara memulainya dari miqat. Dia tidak boleh melewati miqat kecuali dalam keadaan ihram. Jika ia melewatinya dengan sengaja tanpa ihram, maka ia telah melakukan maksiat (berdosa) dan harus kembali ke miqat untuk memulai ihramnya lagi dan tidak diwajibkan membayar dam. Namun jika ia lupa dan tidak sengaja melewatinya tanpa ihram, maka dia harus kembali ke miqat dan tidak berdosa serta tidak terkena dam. Adapun orang yang sengaja dan tidak kembali ke miqat, maka di samping menuai dosa dia juga diwajibkan untuk membayar dam.
Jeddah bukan miqat bagi jamaah haji Indonesia
Ditinjau dari Makkah-miqat sebagai acuan, maka tamu Allah itu ada 3 kelompok:
1. Afaaqiyyuun: yaitu orang-orang yang berada di luar miqat, seperti penduduk Madinah, Najd, Yaman, Mesir, Sudan, Indonesia, India, Pakistan, Eropa, Amerika, dan dari seluruh penjuru dunia. Miqaat mereka adalah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
2. Antara Makkah dan miqat: orang-orang yang tinggal di antara keduanya, seperti penduduk Jeddah, Ummu As-Salam, Bahrah, Asy-Syaraayi’, Badr, Mastuurah, maka miqat mereka adalah rumah-rumah mereka sendiri. [7]
3. Haazhiruu Al-Masjid Al-Haram: yaitu penduduk Makkah, miqat mereka adalah dari rumah-rumah mereka sendiri.
Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita bahwa Jeddah bukanlah miqat untuk orang-orang yang datang dari arah timur seperti Indonesia. Selain karena tidak ditetapkan oleh syari’at sebagai miqat Afaaqiyyuun, Jeddah terletak di antara Makkah dan miqat. Oleh karena itu, jika ia bukan penduduk Jeddah atau tidak bermukim di Jeddah, maka ia tidak boleh berihram dari Jeddah. Sebelum sampai ke Jeddah, ketika ia berada pada tempat yang sejajar dengan miqat terdekat, di situlah seharusnya ia memulai ihramnya.
Syubuhat dan Bantahannya
Syubhat 1
Ada yang mengatakan bahwa Jeddah (dalam hal ini Bandara King Abdul Aziz) bisa dijadikan sebagai miqat, khususnya bagi yang alat transportasinya
Bantahannya: Terlepas dari siapapun yang mengatakannya, kita katakan kepada mereka bahwa itu hanya permasalahan teknis saja. Solusinya adalah jamaah haji dihimbau untuk memakai pakaian ihram sebelum naik ke pesawat. Jika telah sampai pada titik koordinat di mana tempat itu sejajar dengan miqat terdekat, maka jamaah haji berniat masuk ke dalam ihram dan tinggal melakukan talbiyah sesuai dengan manasik yang ia pilih.
Syubhat 2
Mereka mengatakan, ”Jika harus memakai pakaian ihram sebelum naik ke pesawat, maka ini namanya “penyiksaan”, dan Islam sangat jauh dari unsur-unsur penyiksaan.”
Bantahannya: Sungguh benar sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang safar. Beliau bersabda,
السفر قطعة من العذاب
“Safar itu sepotong dari adzab.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Memenuhi panggilan Allah untuk menjadi tamuNya merupakan sebuah usaha yang memerlukan mujaahadah. Bahkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyamakan haji dan umrah seperti jihad, hanya saja tidak ada peperangan di dalamnya.
‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha bertanya, “Wahai Rasulullah! Adakah jihad bagi wanita?” Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Bagi wanita ada kewajiban jihad, tapi tidak ada peperangan di dalamnya, yakni: Haji dan Umrah.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah. Isnad hadits ini shahih) [8]
Syubhat 3
Mereka berkata, “Jeddah bisa dijadikan miqat, karena jaraknya terhadap Makkah lebih jauh bila dibandingkan dengan jarak miqat terdekat (Qarn Al-Manaazil) dengan Makkah. Jarak Qarn Al-Manaazil ke Makkah kira-kira 80 km, sedangkan Jeddah ke Makkah lebih dari 100 km.”
Bantahannya: Ini menunjukkan ketidakpahamann
Untuk kasus ini, ketika seseorang datang dari arah timur Makkah menuju Jeddah, maka dia akan melewati tempat di antara dua miqat terdekat (biasanya Qarn Al-Manaazil dan Yalamlam). Jika demikian adanya, maka wajib baginya untuk memulai ihramnya di koordinat yang sejajar dengan miqat terdekat yang dilaluinya. Jika tidak, maka ia dikatakan telah melanggar ketentuan atau syi’ar Allah, yakni melewati miqat tanpa ihram. Atau kita katakanlah perjalanan udara dilakukan melintasi jalur selatan daratan jazirah arab (sehingga tidak melewati Qarn Al-Manaazil maupun Yalamlam), lalu berbelok ke utara menuju Jeddah. Jika demikian adanya, maka pada saat itu dia juga tetap berada di antara dua miqat (yaitu antara Yalamlam dan Al-Juhfah). Sehingga dengan demikian, ia wajib berihram dari titik yg sejajar dengan miqat yang terdekat (bisa Yalamlam, bisa pula Al-Juhfah, tergantung rute perjalanan udaranya). Hal ini sudah barang tentu terjadi sebelum ia sampai ke Jeddah. Seandainya ia tetap nekat akan berihram dari Jeddah, maka ia termasuk orang yang melewati miqat tanpa ihram. Semoga Allah memberi kita petunjuk.
Penutup
Ibadah haji merupakan ibadah yang sangat erat kaitannya dengan pengagungan terhadap syi’ar-syi’ar Allah. Apakah tidak timpang, di satu sisi kita mengharapkan haji yang mabrur, tetapi pada saat yang bersamaan kita melanggar etika sebagai tamu Allah dengan tidak mengindahkan aturan-aturanny
Wa shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad.
Riyadh, 9 Dzulqa’dah 1432 H
Catatan Kaki:
[1] Pengucapan yang benar adalah Juddah (جُدة) dengan huruf jim berbaris dhammah dan huruf dal yang bertasydid. Lihat Mu’jam Al-Buldaan,
2/114, Daar Shaadir, Beirut.
[2] Mak-hul Abu ‘Abdillah Ad-Dimasyqi. Beliau adalah seorang tabi’in, imamnya penduduk Syam, faqih, hafizh, dan tsiqah. Terkenal banyak meriwayatkan hadits secara mursal. Ibnu Ishaq berkata, “Aku mendengar Mak-hul berkata, “Aku telah mengelilingi dunia untuk menuntut ilmu.” Meninggal tahun 112 H. Az-Zuhri berkata, “Ulama itu ada empat: Sa’id bin Musayyab di Madinah, Asy-Sya’bi di Kufah, Al-Hasan di Bashrah, dan Makhul di Syam.” Abu Hatim berkata, “Tidak ada yang lebih faqih di negeri Syam daripada Mak-hul.” (Lihat Siyar A’lam An-Nubalaa’, 5/155, Muassasah Ar-Risalah; Al-Bidayah wa An-Nihayah, 9/334, Ihya’ At-Turats; Tahdzib Al-Asmaa’ wa Al-Lughaat, 1/113, Daar Al-Kutub Al-’Ilmiyyah)
[3] Tafsir Ibnu Katsiir, 1/499, Darul Hadits, Kairo.
[4] Tafsir Ibnu Katsiir, 1/515, Daar Al-Hadits, Kairo.
[5] Al-Qaamuus Al-Muhiith, hal. 1692, Muassasah Ar-Risalah.
[6] Miqat itu terbagi 2 macam: miqat zamani dan miqat makani.
Miqat zamani adalah waktu memulai manasik. Miqat zamani untuk manasik haji dimulai sejak tanggal 1 Syawwal sampai dengan tanggal 10 Dzulhijjah. Adapun miqat zamani untuk manasik umrah adalah sepanjang tahun.
Miqat makani adalah tempat memulai manasik, baik haji maupun umrah. Orang sering hanya menyebutnya dengan “miqat” saja. Miqat ada lima: Dzulhulaifah (Abyar Ali), Al-Juhfah (Rabigh), Qarnul Manazil (As-Sail Al-Kabir), Yalamlam (As-Sa’diyyah),
[7] Lihat At-Tahqiiq Wa Al-Iidhaah, hal. 53, Maktabah Ibnu Baaz, tahqiq: DR. Shaalih Al-’Ushaimi.
[8] Ibid, hal. 19.
[9] Musykil Al-Manaasik, hal. 293, Prof. DR. Ibrahim Ash-Shubaihi, cetakan ke-2, 1430 H.
2. Kesalahan seputar pakaian ihram[1]
A. Menggunakan kain ihram untuk bagian bawah badan yang berbentuk seperti “rok”
Penulis baru menyadari fenomena ini tepatnya awal Ramadhan yang lalu (1432 H), ketika menemani syaikh kami bertugas di As-Sail Al-Kabiir (Qarn Al-Manaazil), miqatnya penduduk Najd. Pada waktu itu banyak di antara mu’tamiruun (orang-orang yang menunaikan umrah) menggunakan “rok ihram” ini. Kebanyakan mereka ragu apakah “rok ihram” ini boleh digunakan atau tidak. Yang mengatakan boleh, karena banyak dan bebas dijual di toko-toko di sekitar miqat. Akan tetapi ketika mereka menanyakannya, sebagian besar masyaikh mengatakan tidak boleh. Bagaimana sebenarnya hukum menggunakan pakaian semacam ini untuk ihram? Berikut penjelasannya:
Dalil-dalil seputar pakaian ihram
1, Hadits Ibnu ‘Umar
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا يَلْبَسُ المُحْرِمُ مِنَ الثِّيَابِ؟ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ يَلْبَسُ القُمُصَ، وَلاَ العَمَائِمَ، وَلاَ السَّرَاوِيلاتِ
“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhumaa dia berkata, “Seseorang bertanya kepada Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallamtentang pakaian yang boleh dipakai seorang muhrim[2]. Beliau bersabda, “Janganlah ia memakai gamis, ‘imamah[3], saraawiilaat[4]
2. Hadits Ibnu ‘Abbas
عن ابن عباس قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ بِعَرَفَاتٍ: «مَنْ لَمْ يَجِدِ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسِ الخُفَّيْنِ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ لِلْمُحْرِمِ»
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhumaa dia berkata, “Aku mendengar Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di ‘Arafah,“Barang
3. Hadits Ibnu ‘Umar
وَلْيُحْرِمْ أَحَدُكُمْ فِي إِزَارٍ وَرِدَاء وَنَعْلَيْنِ
“Dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhumaa dia berkata, “Rasulullaahsha
“Rok ihram” termasuk jenis saraawiil
Pakaian ihram untuk bagian bawah badan yang berbentuk seperti rok itu oleh orang arab disebut sebagai “nuqbah”. Dalam bahasa ‘ammiyyah sering disebut dengan “tannuurah”. Disebut demikian karena bentuknya yang mirip tungku peleburan besi, di mana bagian atasnya sempit sedangkan bagian bawahnya semakin luas. Di negeri kita pakaian semacam ini disebut dengan “rok”.
Jika kita merujuk ke kamus-kamus bahasa arab, maka akan kita dapatkan penjelasan para ulama bahasa bahwa nuqbah itu adalah termasuk ke dalam jenis saraawiil (celana panjang). Ibnu Manzhur berkata, “Nuqbah adalah sejenis pakaian yang bagian atasnya seperti celana (karena dibuat melingkar yang di dalamnya dimasukkan sejenis karet -pen) , sedangkan bagian bawahnya seperti kain sarung.” Beliau juga menambahkan, “Ada juga yang mengatakan, “Nuqbah itu adalah saraawiil tanpa belahan untuk kaki” [11]
Dengan demikian, jelaslah bagi kita bahwa nuqbah atau tannuurah atau “rok ihram” ini termasuk pakaian yang dilarang untuk dipakai dalam ihram. Hendaknya kita tidak menggunakannya dalam rangka bersikap hati-hati walaupun banyak orang yang menjualnya. Kebanyakan mereka (para penjual) ketika ditanya boleh atau tidaknya rok ihram ini menjawab bahwa ada ulama yang berfatwa boleh memakainya. Ketika diminta menunjukkan fatwa tersebut, mereka tidak mampu menunjukkannya.
B. Melakukan idhthiba‘ sejak mulai ihram sampai dengan tahallul
Idhthiba’ berasal dari kata “dhab’un” yang mengikuti pola “ifti’al”.“Dhab
“Idhthiba’” di dalam istilah manasik maksudnya adalah mengenakan pakaian ihram dengan cara memasukkan tengah kain di bawah ketiak sebelah kanan dan meletakkan kedua ujung kain di atas bahu sebelah kiri. Dengan demikian, bahu sebelah kanan dibiarkan terbuka.[12]
Sebagian besar jamaah haji beranggapan bahwa memakai pakaian ihram identik dengan “idhthibaa’”. Ini salah kaprah yang disebabkan oleh beberapa kemungkinan:
Kemungkinan yang pertama: tidak begitu paham tentang manasik. Orang-orang seperti ini biasanya bermodalkan pengamatan belaka tanpa pengolahan data observasi. Mereka melihat jamaah haji melakukan suatu perbuatan, lalu serta-merta mereka pun mengikutinya.
Kemungkinan yang kedua: terlalu fanatik dengan madzhab tertentu. Mereka tidak mau tau apakah pendapat madzhab tersebut benar atau salah, sesuai dengan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah atau tidak. Yang penting bagi mereka adalah apa yang dikatakan oleh madzhab, itulah yang benar dan wajib diikuti. Inilah yang disebut dengan taklidbuta. Kewajiban kita adalah ittiba‘ (mengikuti dengan memahami dalil), bukan taklid buta (mengekor tanpa memahami dalil).
Kapan idhthibaa’ itu disyari’atkan?
Idhthibaa’ disyari’atkan hanya pada saat thawaf qudum saja, yaitu thawaf ketika tiba di Makkah.
عَنْ يَعْلَى بن أمية، قَالَ: طَافَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُضْطَبِعًا بِبُرْدٍ أَخْضَرَ
Dari Ya’la bin Umayyah radhiyallaahu ‘anhu dia berkata, “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan thawaf sambil melakukan idhthibaa‘ dengan kain berwarna hijau.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini shahih.”)[13]
Syaikh Abdullah Al-Bassam berkata, “Idhthibaa’ itu disunnahkan hanya pada saat thawaf qudum saja, karena ketiadaan dalil yang menerangkan sunnahnya pada saat selain thawaf qudum” [14].
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ اعْتَمَرُوا مِنَ الْجِعْرَانَةِ فَرَمَلُوا بِالْبَيْتِ وَجَعَلُوا أَرْدِيَتَهُمْ تَحْتَ آبَاطِهِمْ قَدْ قَذَفُوهَا عَلَى عَوَاتِقِهِمُ الْيُسْرَى
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat menunaikan umrah dari Ji’ranah. Mereka melakukan “ramal”[15], dan memasukkan pakaian ihram mereka di bawah ketiak sebelah kanan, sedangkan kedua ujung kain tersebut disematkan di atas bahu sebelah kiri (idhthibaa‘ -pen). (HR. Abu Dawud, no.1884, Syeikh Abdul Muhsin Al-’Abbad mengatakan isnad hadits ini hasan.) [16]
Adapun hadits Ibnu ‘Abbas tersebut di atas yang menunjukkan idhthibaa‘ juga berlaku pada saat thawaf ‘umrah dapat dijelaskan bahwa thawaf umrah yang dimaksud adalah berkedudukan sama sebagai thawaf qudum, yaitu thawaf yang dilakukan sesampainya seorang muhrim di Makkah. Jika ia telah menunaikan umrahnya, kemudian ingin melaksanakan umrah berikutnya untuk orang lain seperti ibunya atau ayahnya yang sudah meninggal -misalkan saja-, maka dia tidak perlu keluar menuju miqat yang lima. Karena saat itu ia berkedudukan sama seperti penduduk Makkah. Dia cukup keluar dari daerah haram menuju daerah halal (seperti Tan’im dan Ji’ranah) sebagai miqatnya. Untuk umrah yang kedua ini, thawaf umrahnya tidak dikatakan lagi sebagai thawaf qudum, karena statusnya masih berada di Makkah. Sehingga dengan demikian, pada thawaf umrah yang kedua ini tidak disunnahkan melakukan idhthibaa‘. Wallaahu a’lam.
Idhthibaa’ merupakan kekhususan thawaf
Syaikh Manshur Al-Buhuti berkata, “Apabila telah selesai dari thawaf, maka hendaknya ia kembali mengenakan pakaian ihramnya seperti biasa (maksudnya tidak beridhthibaa’ lagi -pen).”[17]
Syaikh Al-Hajjaawiy berkata, “Dan tidak melakukan idhthibaa’ pada saat sa’i.” Syaikh Al-Buhuti menjelaskan, “(Yang demikian itu) dikarenakan tidak ada dalilnya. Al-Imam Ahmad mengatakan, “Kami tidak pernah mendengarkan hadits yang membicarakan hal itu (tentang idhthibaa’ pada saat sa’i -pen).”[18]
Syubuhat dan Bantahannya
Syubhat 1
Ada yang mengatakan, “Madzhab kami berpendapat bahwa idhthibaa’ itu disunnahkan pada saat thawaf dan sa’i. Kami mengikuti madzhab kami, sebagaimana kalian mengikuti madzhab kalian.”
Bantahannya: Kita katakan bahwa yang diikuti dalam hal ini adalah kebenaran. Kebenaran itu sumbernya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bermadzhab merupakan salah satu sarana dalam memahami fiqh atau syari’at. Bermadzhab bukanlah tujuan dalam beragama. Kita tidak dilarang bermadzhab sebagaimana para ulama dan para imam terdahulu bermadzhab. Yang dilarang adalah fanatik terhadap madzhab tertentu dengan menganggap bahwa madzhabnya adalah ma’shum dari kesalahan dan kekeliruan. Kita tidak mengingkari adanya perbedaan pendapat di kalangan madzhab. Yang dituntut dari kita adalah mengambil pendapat yang paling dekat dengan apa yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Untuk permasalahan idhthibaa’ para ulama berbeda pendapat.
1. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa idhthibaa‘ itu disunnahkan pada saat thawaf, sedangkan pada saat sa’i tidak disunnahkan. Tidak semua thawaf disunnahkan idhthibaa‘, hanya untuk thawaf yang diikuti dengan sa’i saja.[19]
2. Madzhab Maliki berpendapat bahwa idhthibaa‘ itu tidak dianjurkan baik pada saat thawaf maupun sa’i.[20]
3. Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa idhthibaa‘ itu disunnahkan baik pada thawaf maupun sa’i.[21]
4. Madzhab Hanbali berpendapat bahwa idhthibaa‘ itu disunnahkan hanya pada saat thawaf, sedangkan pada saat sa’i tidak. Idhthibaa‘ hanya disunnahkan pada saat thawaf qudum saja, baik setelahnya diikuti dengan sa’i ataupun tidak.[22]
Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita bahwa jumhur ulama berpendapat bahwa idhthibaa‘ tidak disyari’atkan pada saat sa’i. Hanya madzhab Syafi’i saja yang berpendapat sunnah.
Al-’Aini berkata, “Al-Imam Asy-Syafi’i berpendapat sunnahnya idhthibaa’ pada saat sa’i mengqiyaskan hukumnya dengan thawaf.”[23]
Ibnu Qudamah menjelaskan, “Al-Imam Asy-Syafi’i berpendapat sunnahnya idhthibaa’ pada saat sa’i. Beliau beralasan karena sa’i merupakan salah satu bentuk thawaf. Sa’i mirip seperti thawaf mengelilingi ka’bah. Yang benar adalah Nabi tidak melakukan idhthibaa’ pada saat sa’i. Sunnahnya adalah mencontoh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Al-Imam Ahmad berkata, “Kami tidak pernah mendengar sebuah hadits pun tentang hal itu (idhthibaa’ pada saat sa’i -pen). Qiyas tidak dibenarkan kecuali dalam hal yang dapat dipahami maknanya. Dan ini merupakan ibadah murni (yang tidak boleh dikerjakan kecuali dengan dalil yang shahih dan sharih -pen).[24]
Penulis mengatakan bahwa hukum asal memakai ridaa‘ adalah meletakkannya di atas kedua bahu. Ketika di sana terdapat perintah baik itu perkataan maupun perbuatan dari Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang memalingkan dari hukum asal ini, maka penerapannya hanya pada hal, tempat dan waktu yang ditunjukkan oleh perintah tersebut. Jika tidak ada perintahnya pada hal, tempat dan waktu yang berbeda, maka penerapannya dikembalikan kepada hukum asal.
Untuk kasus idhthibaa‘, ini merupakan perbuatan Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan hadits-hadits yang telah disebutkan sebelumnya. Dalil-dalil yang ada hanya menunjukkan idhthibaa’ itu hanya pada waktu thawaf qudum saja. Dikarenakan tidak adanya dalil yang memerintahkan idhthibaa’ pada waktu sa’i, maka cara memakai ridaa’ kembali kepada asalnya, yaitu diletakkan di atas kedua bahu.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendapat Al-Imam Ahmad dalam masalah ini lebih kuat dibandingkan dengan pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i. Wallaahu a’lam.
Wa shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad.
Riyadh, 16 Dzulqa’dah 1432
Catatan Kaki:
[1] Pembahasan kali ini khusus untuk pakaian ihram bagi laki-laki. Insya Allah, kesalahan-kesal
[2] Muhrim adalah orang yang melakukan ihram. Ini yang benar. Bukan seperti yang dimaksud oleh kebanyakan orang di negeri kita bahwa muhrim adalah orang yang haram untuk dinikahi. Ini juga termasuk “salah sebut”. Istilah yang benar untuk orang-orang yang haram dinikahi adalah “mahram”. Hendaknya kita bisa membedakan kedua istilah ini dan menempatkan pada tempatnya.
[3] “’Imamah” adalah pakaian khusus kepala. Dalam bahasa Indonesia disebut dengan sorban. Termasuk ke dalam hukum ‘imamah adalahsyimagh dan ghuthrah (tutup kepala model orang saudi), kopiah, peci, dan yang sejenisnya.
[4] “Saraawiilaat” bentuk jamak dari saraawiil, yaitu pakaian untuk bawah badan. Biasa disebut dengan celana panjang.
[5] “Baraanis” bentuk jamak dari burnus, yaitu baju yang memiliki penutup/tudung kepala.
[6] “Khuf” adalah sepatu yang menutup mata kaki, biasanya terbuat dari kulit.
[7] Hadits ini merupakan naasikh terhadap hadits sebelumnya. Maksudnya hadits Ibnu ‘Abbas menghapus hukum yang terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar. Jika kita melihat sekilas, hadits Ibnu ‘Abbas lebih umum daripada hadits Ibnu ‘Umar. Dalam hadits Ibnu ‘Umar terdapat penjelasan tentang memotong bagian atas khuf yang menutupi mata kaki, sedangkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas tidak disebutkan keterangan tersebut. Para ulama menjelaskan bahwa ini masuk ke dalam babnaasikh dan mansuukh, bukan bab umum dan khusus yang dengannya menjadikan hadits yang umum dibawa penerapannya kepada hadits yang khusus. Alasannya, karena hadits Ibnu ‘Umar itu ketika Nabi berada di Madinah, sedangkan hadits Ibnu ‘Abbas ketika Nabi berkhutbah di ‘Arafah. Kaum muslimin pada saat di Arafah lebih banyak daripada yang hanya di Madinah. Yang berada di ‘Arafah sebagian besar mereka tidak mendengar jawaban beliau ketika di Madinah. Ketika ditanya di ‘Arafah, Nabi tidak memerintahkan untuk memotong bagian atas khuf. Kalau seandainya memotong khuf tersebut adalah wajib hukumnya, pasti Nabi sudah menjelaskannya,
[8] “Izaar” adalah kain untuk menutupi bagian bawah badan.
[9] “Ridaa‘” adalah kain yang menutupi bagian atas badan, biasanya diletakkan di atas kedua bahu (untuk menutupi bahu).
[10] At-Tahqiiq wa Al-Iidhaah, hal. 41, Maktabah Ibnu Baaz, tahqiq: DR. Shaalih Al-’Ushaimi.
[11] Lisaan Al-’Arab, 1/768, Daar Shaadir, Beirut.
[12] Lisaan Al-’Arab, 8/216, Daar Shaadir, Beirut.
[13] Taudhiih Al-Ahkaam, no. 630, 4/114, Maktabah Al-Mushthafa.
[14] Ibid, hal. 115.
[15] “Ramal” adalah berjalan cepat dengan langkah-langkah
[16] Tabshiiru An-Naasik bi Ahkaami Al-Manaasik, Syeikh Abdul Muhsin Al-’Abbad, hal.102-103
[17] Ar-Raudh Al-Murbi’, hal. 175, Daar Al-Kitaab Al-’Arabiy, Beirut.
[18] Kasyfu Al-Qinaa’, hal. 1158, Daar ‘Aalam Al-Kutub, Riyadh.
[19] Haasyiyah Ibn ‘Aabidiin, 2/481, Daar Al-Fikr, Beirut.
[20] Fath Al-Baari, no. 1605, 3/534, Daar Al-Hadiits, Kairo.
[21] Al-Majmuu’ Syarhu Al-Muhadzdzab, 8/27, Maktabah Al-Irsyaad, Jeddah.
[22] Al-Mughni, 3/339, Maktabah Al-Qaahirah, Kairo.
[23] Al-Binaayah Syarhu Al-Hidaayah, 4/195, Daar Al-Kutub Al-’Ilmiyyah, Beirut.
[24] Al-Mughni, 3/340, Maktabah Al-Qaahirah, Kairo.
Sumber
Penulis: Abu Yazid Nurdin
Artikel Muslim.Or.Id
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda🙏🏼